Friday, December 2, 2016

Reklamasi Teluk Jakarta

BAB I
PENDAHULUAN

       I.            Latar Belakang
Selama satu dasawarsa terakhir, wacana reklamasi Teluk Jakarta semakin kencang. Berbagai kebijakan pemerintah muncul, ada yang melarang, tetapi tak jarang melegalkan reklamasi. Tahun ini, wacana tersebut menguat, dihadirkan dengan mengusung tujuan mulia menambah luasan Jakarta sebagai antisipasi perkembangan ibu kota negara.
Reklamasi bukan hal baru bagi Jakarta. Kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan atau drainase tersebut sudah mulai dilakukan sejak 1980-an. PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara.
Dalam catatan pemberitaan Kompas, PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi sekitar tahun 1981. Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda.

Saat itu, kegiatan reklamasi di empat lokasi tersebut sudah menimbulkan perdebatan. Sejumlah pihak menuduh reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem PLTU Muara Karang. Diduga, ini terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU. Tak hanya itu, tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol. Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan. Upaya reklamasi dipilih untuk menambah luas daratan ibu kota negara.

Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi. Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.
Untuk memuluskan rencana tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995. Namun, munculnya dua kebijakan ini "menabrak" Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.
Tarik ulur kebijakan
Sejak 1995 tersebut terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan.
Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. Ketidaklayakan tersebut disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.
Surat keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
Tahun 2011, keadaan berbalik karena MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Utara Jakarta legal. Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana reklamasi. Untuk melaksanakan reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar teluk Jakarta.
Saat rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan yang menghadangnya, tahun 2012 Presiden SBY menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012. Perpres mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.
Tahun 2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi. Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 keluar pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai, kebijakan tersebut melanggar karena kewenangan memberikan izin di area laut strategis berada di tangan kementeriannya meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta. Tak hanya itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman juga meminta pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat kajian ilmiah rencana reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. Kajian ilmiah itu perlu dijelaskan kepada publik sehingga publik tahu detail perencanaan dan bisa mengawasi proyek reklamasi.
Akhir September 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkaji penghentian sementara (moratorium) reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, dan listrik. Di luar itu tidak boleh ada reklamasi untuk hotel, apartemen, mal, dan sebagainya.
Moratorium yang masih berupa kajian tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI Jakarta untuk tetap melaksanakan reklamasi. Akhir Oktober 2015, Pemprov DKI menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta.

    II.            Rumusan Masalah
1.      Apakah dampak postif dan negatif dari reklamasi Pantai Utara Jakarta?
2.      Bagaimana meninjau reklamasi Pantai Utara Jakarta berkenaan dengan tujuan Otonomi Daerah?
Tujuan
1.      Untuk mengetahui dampak positif dan negatif dari reklamasi Pantai Utara Jakarta.
2.      Untuk mengetahui sesuai atau tidaknya tujuan reklamasi Pantai Utara Jakarta dengan tujuan Otonomi Daerah.











BAB II
PEMBAHASAN

       I.            Kajian Teori
Berikut adalah dampak positif dan dampak negatif dari reklamasi pesisir pantai secara umum.
Dampak positif
1.      Ada tambahan daratan buatan hasil pengurugan pantai sehingga dapat dimanfaatkan untuk bermacam kebutuhan.
2.      Daerah yang dilakukan reklamasi menjadi aman terhada perosi karena konstruksi pengaman sudah disiapkan sekuat mungkin untuk dapat menahan gempuran ombak laut.
3.      Daerah yang ketinggianya dibawah permukaan air laut bisa aman terhadap banjir apabila dibuat tembok penahan air laut di sepanjang pantai.
4.      Tata lingkungan yang bagus dengan perletakan taman sesuai perencanaan, sehingga dapat berfungsi sebagai area rekreasi yang sangat memikat pengunjung. 

 Dampak negatif
1.      Akan terjadi perubahan ekosistem pada lingkungan seperti perubahan pada pola arus erosi pada pantai, maka perubahan demikian dapat membahayakan suatu daerah atau lingkungan karena dapat mengakibatkan banjir.
2.      Akan berdampak buruk pada system drainase dan perubahan hidrodinamika yang mempunyai dampak negatif ke pada lingkungan dan masyarakat yang ada disekitarnya.
3.      Akan mengganggu lingkungan sekitar quarry karena adanya galian yang dilakukan dengan cara pengeprasan bukit maupun pulau-pulau yang tidak mempunyai penghuni.
4.      Beberapa keanekaragaman hayati akan punah seperti hilangnya spesies mangrove, punahnya spesies ikan, kerang laut dan lain sebagainya akibat dari proyek reklamasi.

Tujuan adanya otonomi daerah, diantaranya yaitu :
1.      Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan adanya otonomi daerah maka pemerintah daerah akan dengan leluasa merencanakan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, hal ini dapat mengatasi kesenjangan pembangunan yang selama ini menjadi keluhan dari masyarakat daerah.
2.      Meningkatkan pelayanan umum.
Dengan adanya otonomi daerah pemerintah daerah diharpakan mampu meningkatkan pelayanan umumnya tanpa menunggu keputusan-keputusan dari pemerintah pusat, hal ini juga mempercepat kinerja pemerintah daerah dalam melayani masyarakat daerah.
3.      Meningkatkan daya saing daerah.
Dalam mewujudkan hal ini, pemerintah daerah dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam menggali dan memanfaatkan segala potensi untuk mengembangkan daerahnya agar mencapai kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Untuk itu peran dan partisipasi masyarakat amat sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini.

    II.            Analisa Kasus
Wacana reklamasi 17 pulau ini terus bergulir sejak zaman Orde Baru. Namun, sudah 10 tahun bergulir, reklamasi tersebut urung dilakukan. Berbagai pendapat mendukung dan menentang rencana reklamasi tersebut.
Reklamasi untuk menambah ruang pembangunan Jakarta merupakan salah satu pendapat yang mendukung proyek reklamasi. Kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Juga dengan wilayah timur dan barat yang sudah telanjur padat penduduk karena sejak 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke timur dan barat.
Alasan lain adalah untuk mengembangkan kawasan utara Jakarta. Pengembang yang membangun kawasan tersebut akan menghasilkan pajak dan retribusi. Selanjutnya pemasukan baru PAD DKI Jakarta tersebut digunakan untuk memperbaiki kawasan kumuh.
Namun, justru alasan ini dipertanyakan banyak pihak. Jika ingin menambah ruang pembangunan, bukan dengan melakukan pembangunan horizontal ke wilayah utara. Pembangunan vertikal dengan memperhatikan kaidah lingkungan secara perlahan harus diterapkan. Selain itu, arus migrasi manusia ke Jakarta juga perlahan perlu ditahan dan diarahkan ke wilayah mitra (Bodetabek).
Penggunaan area reklamasi untuk subsidi silang pemasukan daerah juga merupakan langkah tidak tepat. Seberapa besar pengawasan yang dilakukan Pemprov DKI untuk memastikan para pengembang membayar pajak dan retribusi? Pengembang yang telah menginvestasikan banyak uang akan membatasi pemasukannya bagi pajak dan retribusi pemda.
Berbagai pendapat yang mendukung bahwa reklamasi berdampak positif pada lingkungan. Reklamasi berupa pulau akan memperlancar aliran banjir ke laut, berfungsi sebagai bendungan untuk menahan kenaikan permukaan air laut, dan sebagai sumber air bersih Jakarta Utara. Juga ada pendapat bahwa reklamasi akan memecah gelombang dan mengurangi risiko abrasi. Pendapat tersebut memerlukan kajian lebih lanjut.
Pihak yang menentang akan mengaitkan reklamasi berdampak negatif pada lingkungan. Sebut saja akan mengakibatkan ekosistem pesisir terancam punah. Kehancuran itu antara lain berupa hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke, punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lain.
Selain itu, reklamasi juga akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air.
Tak hanya persoalan lingkungan, reklamasi berdampak juga pada masalah sosial, seperti pada kehidupan nelayan Jakarta Utara. Reklamasi pantura Jakarta diyakini menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari sumber kehidupannya dan menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin.
Terakhir, muncul pertanyaan substansial: reklamasi di Teluk Jakarta itu diperuntukkan bagi siapa? Tidak semua kelas ekonomi masyarakat Jakarta bisa menikmati reklamasi tersebut. Reklamasi yang dibangun pengembang dengan dana triliunan rupiah tentu akan dijual dengan harga mahal. Hanya golongan ekonomi atas yang mungkin akan menikmati reklamasi tersebut. Hal ini penulis anggap tidak sesuai dengan tujuan ekonomi daerah, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, dimana harus ada pembangunan secara merata di semua dareah ibukota.














BAB III
SIMPULAN

Kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Juga dengan wilayah timur dan barat yang sudah telanjur padat penduduk karena sejak 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke timur, barat, dan utara.  Reklamasi berdampak positif pada lingkungan. Reklamasi berupa pulau akan memperlancar aliran banjir ke laut, berfungsi sebagai bendungan untuk menahan kenaikan permukaan air laut, dan sebagai sumber air bersih Jakarta Utara. Juga ada pendapat bahwa reklamasi akan memecah gelombang dan mengurangi risiko abrasi. Akan tetapi, reklamasi memerlukan kajian lebih lanjut untuk menghindari dampak-dampak negative yang diramalkan para ahli bagi lingkungan dan untuk menghindari ketidaksesuaian dengan tujuan otonomi daerah, yaitu untuk kesejahteraan masyarakat Jakarta.

















DAFTAR PUSTAKA
               
Rosalina, M. Puteri. Kompas: Dilema Reklamasi Pantai Jakarta. Jakarta, 2015. (http://print.kompas.com/baca/2015/11/11/Dilema-Reklamasi-Pantai-Jakarta )



No comments:

Post a Comment