BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Selama satu dasawarsa
terakhir, wacana reklamasi Teluk Jakarta semakin kencang. Berbagai kebijakan
pemerintah muncul, ada yang melarang, tetapi tak jarang melegalkan reklamasi.
Tahun ini, wacana tersebut menguat, dihadirkan dengan mengusung tujuan mulia
menambah luasan Jakarta sebagai antisipasi perkembangan ibu kota negara.
Reklamasi
bukan hal baru bagi Jakarta. Kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya
lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan atau drainase tersebut sudah
mulai dilakukan sejak 1980-an. PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai
Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan
untuk permukiman mewah Pantai Mutiara.
Dalam catatan pemberitaan Kompas, PT
Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan
industri dan rekreasi sekitar tahun 1981. Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan
bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah yang sekarang
dikenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang
digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda.
Saat itu, kegiatan reklamasi
di empat lokasi tersebut sudah menimbulkan perdebatan. Sejumlah pihak menuduh
reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem PLTU Muara Karang. Diduga, ini terjadi
akibat adanya perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang
berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU. Tak hanya itu, tenggelamnya
sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu diduga akibat dari pengambilan
pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol. Namun, dampak negatif tersebut
tidak diindahkan. Upaya reklamasi dipilih untuk menambah luas daratan ibu kota
negara.
Wiyogo
Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan reklamasi ke utara
Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi.
Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di
hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan
di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara
yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.
Untuk memuluskan
rencana tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang
Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995. Namun, munculnya
dua kebijakan ini "menabrak" Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta
1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.
Tarik ulur kebijakan
Sejak
1995 tersebut terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan
Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dalam berbagai
kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan
merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi
tetap dilakukan.
Tahun
2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa
dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan
ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. Ketidaklayakan tersebut
disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang
Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.
Surat
keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun 2007, enam
pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke
pengadilan tata usaha negara (PTUN). Mereka beralasan sudah melengkapi semua
persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin
lain. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian
Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap
memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup
lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan
kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
Tahun
2011, keadaan berbalik karena MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011)
yang menyatakan, reklamasi di Pantai Utara Jakarta legal. Namun, putusan MA
tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana reklamasi. Untuk melaksanakan
reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk
memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar teluk
Jakarta.
Saat
rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan yang menghadangnya,
tahun 2012 Presiden SBY menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012. Perpres mengenai
reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik
pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.
Tahun
2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan
rencana reklamasi. Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 keluar
pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara
Wisesa Samudra.
Namun,
Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai, kebijakan tersebut melanggar karena
kewenangan memberikan izin di area laut strategis berada di tangan
kementeriannya meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta. Tak hanya itu,
Kementerian Koordinator Kemaritiman juga meminta pengembang dan Pemprov DKI
Jakarta membuat kajian ilmiah rencana reklamasi Pulau G di Jakarta Utara.
Kajian ilmiah itu perlu dijelaskan kepada publik sehingga publik tahu detail
perencanaan dan bisa mengawasi proyek reklamasi.
Akhir
September 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkaji penghentian
sementara (moratorium) reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan,
bandara, dan listrik. Di luar itu tidak boleh ada reklamasi untuk hotel,
apartemen, mal, dan sebagainya.
Moratorium
yang masih berupa kajian tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI
Jakarta untuk tetap melaksanakan reklamasi. Akhir Oktober 2015, Pemprov DKI
menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi.
Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port of
Jakarta.
II.
Rumusan Masalah
1. Apakah
dampak postif dan negatif dari reklamasi Pantai Utara Jakarta?
2. Bagaimana
meninjau reklamasi Pantai Utara Jakarta berkenaan dengan tujuan Otonomi Daerah?
Tujuan
1. Untuk
mengetahui dampak positif dan negatif dari reklamasi Pantai Utara Jakarta.
2. Untuk
mengetahui sesuai atau tidaknya tujuan reklamasi Pantai Utara Jakarta dengan tujuan
Otonomi Daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Kajian Teori
Berikut adalah dampak positif dan dampak
negatif dari reklamasi pesisir pantai secara umum.
Dampak positif
1.
Ada
tambahan daratan buatan hasil pengurugan pantai sehingga dapat dimanfaatkan untuk
bermacam kebutuhan.
2.
Daerah
yang dilakukan reklamasi menjadi aman terhada perosi karena konstruksi pengaman
sudah disiapkan sekuat mungkin untuk dapat menahan gempuran ombak laut.
3.
Daerah
yang ketinggianya dibawah permukaan air laut bisa aman terhadap banjir apabila dibuat
tembok penahan air laut di sepanjang pantai.
4.
Tata
lingkungan yang bagus dengan perletakan taman sesuai perencanaan, sehingga dapat
berfungsi sebagai area rekreasi yang sangat memikat pengunjung.
Dampak negatif
1.
Akan
terjadi perubahan ekosistem pada lingkungan seperti perubahan pada pola arus erosi
pada pantai, maka perubahan demikian dapat membahayakan suatu daerah atau lingkungan
karena dapat mengakibatkan banjir.
2.
Akan
berdampak buruk pada system drainase dan perubahan hidrodinamika yang mempunyai
dampak negatif ke pada lingkungan dan masyarakat yang ada disekitarnya.
3.
Akan
mengganggu lingkungan sekitar quarry karena adanya galian yang dilakukan dengan
cara pengeprasan bukit maupun pulau-pulau yang tidak mempunyai penghuni.
4.
Beberapa
keanekaragaman hayati akan punah seperti hilangnya spesies mangrove, punahnya spesies
ikan, kerang laut dan lain sebagainya akibat dari proyek reklamasi.
Tujuan
adanya otonomi daerah, diantaranya yaitu :
1. Meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Dengan
adanya otonomi daerah maka pemerintah daerah akan dengan leluasa merencanakan dan
membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, hal ini dapat
mengatasi kesenjangan pembangunan yang selama ini menjadi keluhan dari masyarakat
daerah.
2. Meningkatkan
pelayanan umum.
Dengan
adanya otonomi daerah pemerintah daerah diharpakan mampu meningkatkan pelayanan
umumnya tanpa menunggu keputusan-keputusan dari pemerintah pusat, hal ini juga mempercepat
kinerja pemerintah daerah dalam melayani masyarakat daerah.
3. Meningkatkan
daya saing daerah.
Dalam
mewujudkan hal ini, pemerintah daerah dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam
menggali dan memanfaatkan segala potensi untuk mengembangkan daerahnya agar
mencapai kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Untuk itu peran
dan partisipasi masyarakat amat sangat dibutuhkan untuk mencapai
tujuan ini.
II.
Analisa Kasus
Wacana
reklamasi 17 pulau ini terus bergulir sejak zaman Orde Baru. Namun, sudah 10
tahun bergulir, reklamasi tersebut urung dilakukan. Berbagai pendapat mendukung
dan menentang rencana reklamasi tersebut.
Reklamasi
untuk menambah ruang pembangunan Jakarta merupakan salah satu pendapat yang
mendukung proyek reklamasi. Kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin
dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Juga dengan wilayah
timur dan barat yang sudah telanjur padat penduduk karena sejak 1985
pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke timur dan barat.
Alasan
lain adalah untuk mengembangkan kawasan utara Jakarta. Pengembang yang
membangun kawasan tersebut akan menghasilkan pajak dan retribusi. Selanjutnya
pemasukan baru PAD DKI Jakarta tersebut digunakan untuk memperbaiki kawasan
kumuh.
Namun,
justru alasan ini dipertanyakan banyak pihak. Jika ingin menambah ruang
pembangunan, bukan dengan melakukan pembangunan horizontal ke wilayah utara.
Pembangunan vertikal dengan memperhatikan kaidah lingkungan secara perlahan
harus diterapkan. Selain itu, arus migrasi manusia ke Jakarta juga perlahan
perlu ditahan dan diarahkan ke wilayah mitra (Bodetabek).
Penggunaan
area reklamasi untuk subsidi silang pemasukan daerah juga merupakan langkah
tidak tepat. Seberapa besar pengawasan yang dilakukan Pemprov DKI untuk memastikan
para pengembang membayar pajak dan retribusi? Pengembang yang telah
menginvestasikan banyak uang akan membatasi pemasukannya bagi pajak dan
retribusi pemda.
Berbagai
pendapat yang mendukung bahwa reklamasi berdampak positif pada lingkungan.
Reklamasi berupa pulau akan memperlancar aliran banjir ke laut, berfungsi
sebagai bendungan untuk menahan kenaikan permukaan air laut, dan sebagai sumber
air bersih Jakarta Utara. Juga ada pendapat bahwa reklamasi akan memecah
gelombang dan mengurangi risiko abrasi. Pendapat tersebut memerlukan kajian
lebih lanjut.
Pihak
yang menentang akan mengaitkan reklamasi berdampak negatif pada lingkungan.
Sebut saja akan mengakibatkan ekosistem pesisir terancam punah. Kehancuran itu
antara lain berupa hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke,
punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman
hayati lain.
Selain
itu, reklamasi juga akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah
bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta
Utara. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen
sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan
tata air.
Tak
hanya persoalan lingkungan, reklamasi berdampak juga pada masalah sosial,
seperti pada kehidupan nelayan Jakarta Utara. Reklamasi pantura Jakarta
diyakini menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari sumber kehidupannya dan
menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin.
Terakhir,
muncul pertanyaan substansial: reklamasi di Teluk Jakarta itu diperuntukkan
bagi siapa? Tidak semua kelas ekonomi masyarakat Jakarta bisa menikmati
reklamasi tersebut. Reklamasi yang dibangun pengembang dengan dana triliunan
rupiah tentu akan dijual dengan harga mahal. Hanya golongan ekonomi atas yang
mungkin akan menikmati reklamasi tersebut. Hal ini penulis anggap tidak sesuai
dengan tujuan ekonomi daerah, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, dimana
harus ada pembangunan secara merata di semua dareah ibukota.
BAB III
SIMPULAN
Kawasan
selatan Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan karena fungsinya sebagai
daerah konservasi. Juga dengan wilayah timur dan barat yang sudah telanjur
padat penduduk karena sejak 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan
ke timur, barat, dan utara. Reklamasi
berdampak positif pada lingkungan. Reklamasi berupa pulau akan memperlancar
aliran banjir ke laut, berfungsi sebagai bendungan untuk menahan kenaikan
permukaan air laut, dan sebagai sumber air bersih Jakarta Utara. Juga ada
pendapat bahwa reklamasi akan memecah gelombang dan mengurangi risiko abrasi. Akan
tetapi, reklamasi memerlukan kajian lebih lanjut untuk menghindari
dampak-dampak negative yang diramalkan para ahli bagi lingkungan dan untuk
menghindari ketidaksesuaian dengan tujuan otonomi daerah, yaitu untuk
kesejahteraan masyarakat Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Rosalina, M. Puteri. Kompas: Dilema Reklamasi Pantai Jakarta. Jakarta, 2015. (http://print.kompas.com/baca/2015/11/11/Dilema-Reklamasi-Pantai-Jakarta
)
No comments:
Post a Comment